Pray For Indonesia, itulah topik yang sedang hangat dibicarakan diberbagai jejaring sosial saat ini. Betapa tidak, musibah yang datang silih berganti menimpa Indonesia seolah membuat pemerintah dan beberapa tim penanganan bencana kewalahan. Belum kering air mata korban banjir bandang di Wasior, Papua Barat, gempa bumi dan gelombang tsunami melanda kawasan Mentawai, Sumatera Barat. Gempa bumi 7,2 SR mengguncang Kepulauan Mentawai pada tanggal 26 Oktober 2010 pukul 21.42. Getaran gempa ini terasa hingga ke beberapa kota di Sumatera Barat, sehingga membuat panik warga yang masih trauma akibat gempa bumi 7,9 SR yang telah meluluh-lantakkan Ranah Minang 30 September silam. Warga yang baru saja terlelap, tiba-tiba dibangunkan oleh goncangan gempa yang terjadi selama 30 detik. Dalam sekejap, jalanan di kota Padang dipadati kendaraan yang bergerak meninggalkan kawasan di sekitar pantai menuju daerah By Pass yang letaknya lebih tinggi dari bibir pantai. Namun, naas bagi masyarakat Mentawai, selang 10 menit setelah terjadi gempa, gulungan ombak setinggi 16 meter menyapu Kepulauan Mentawai. Masyarakat yang baru saja terlelap, tidak sempat menyelamatkan diri ke daerah yang lebih tinggi. Sehingga saat gelombang tsunami menerjang, mereka hanya bisa pasrah terseret gelombang. Hingga kini empat ratus orang telah ditemukan tak bernyawa, sementara ratusan lainnya belum diketahui nasibnya. Belum lagi korban yang mengalami luka berat ataupun luka ringan, bahkan sejumlah warga terpaksa tingggal di tenda pengungsian karena tempat tinggal mereka telah lenyap tersapu gelombang.
Saat ini, para pengungsi sangat membutuhkan uluran tangan baik berupa bantuan evakuasi jenazah, maupun bantuan berupa bahan makanan, obat-obatan, pakaian, selimut dan yang terpenting yaitu suplai air bersih. Namun, pendistribusian bantuan juga mendapat kendala. Cuaca yang kurang bersahabat dan tingginya gelombang air laut di sekitar Kepualauan Mentawai, menghambat pengiriman bantuan. Hingga saat ini, untuk mencapai lokasi bencana hanya dapat ditempuh lewat jalur udara, sehingga bantuan menumpuk diberbagai posko bantuan di Padang.
Tepat dihari yang sama, amukan awan panas juga menyapu pemukiman penduduk di lereng Gunung Merapi. Debu dan material panas dimuntahkan dari perut bumi. Masyarakat yang bermukim di sekitar lereng Merapi terpaksa di evakuasi ketempat yang lebih aman. Namun beberapa warga menolak untuk mengungsi, sehingga saat awan panas menyapu pemukiman warga banyak korban berjatuhan termasuk sang juru kunci merapi, Mbah Maridjan. Lelaki berusia 83 tahun ikut menjadi salah satu koban keganasan Gunung Merapi. Jenazah Mbah Maridjan ditemukan tak bernyawa di rumahnya dengan posisi sujud. Ketika itu, ia mengenakan baju batik, kopiah putih dan kain sarung. Ya, beginilah pakaian yang biasa beliau kenakan sehari-hari. Selama puluhan tahun Mbah Marijan telah mengabdikan dirinya sebagai juru kunci gunung yang dianggap sakti tersebut. Bahkan setiap upacara persembahan keraton untuk gunung merapi selalu dipimpin oleh Mbah Marijan. Tak hanya itu, wisatawan yang ingin mendaki pun harus meminta izin kepada sang juru kunci.Kini lelaki tua tersebut telah tiada. Beliau telah mengorbankan jiwanya demi gunung yang telah dijaga dan diagungkannya.
Indonesia tanah air ku. Tanah kelahiran ku yang kucinta dan kubela selamanya. Sampai kapankah bencana ini akan membuatmu menangis? Sampai kapan air mata ini akan terus bercucuran? Kapankah bumi pertiwi ku akan tersenyum dengan riang melihat masyarakatnya hidup tentram dan sejahtera? Ya, bencana ini memang kuasa sang khalik. Kita juga tidak bisa menyalahkan siapapun dalam bencana ini. Semua itu telah diatur oleh sang pemilik jagat raya ini. Kini hanya serangkai doa yang terucap untukmu bangsaku. Semoga pelangi yang indah akan muncul dikala hujan badai reda.