Degradasi Nilai-nilai Kebudayaan di Minangkabau
Kita sering mendengar orang-orang mengatakan “apalah
arti sebuah nama”. Mungkin bagi sebagian orang nama bukanlah sesuatu yang
berarti. Namun, bagi masyarakat Minangkabau, nama itu adalah sesuatu yang
sangat penting. Ketek banamo, gadang
bagala. Katiko ketek basabuikan namo,
katiko gadang baimbauan gala. Dengan mengungkapkan nama panggilan (gala)
ini, setidaknya kita dapat mengenal panggilan yang pernah ada dalam kehidupan
kita sebagai orang Minang. Selain itu, penggunaan nama panggilan ini juga dapat
memperlancar hubungan kekeluargaan dalam sistim kekerabatan di Minangkabau.
Dulu bagi orang minangkabau, nama dan gala sangat
diperhatikan. Pernah suatu ketika saya kedatangan tamu dari kampung. Saya
mempersilakan tamu tersebut untuk masuk rumah, “Masuaklah dulu, Pak!” . Bapak tadi tertegun dan berkata, “ Ambo ko mamak kau mah, Kamanakan! Baa pulo dek kau imbau Apak?”. Saya
kaget mendengar kata-kata beliau. Menurut saya panggilan bapak atau pun mamak
itu sama saja, karena menurut saya panggilan itu cukup sopan. Namun, setelah
saya bertanya kepada orang tua saya, mereka menjelaskan bahwa ternyata orang
yang saya panggil bapak tadi berasal dari suku yang serumpun dengan ibu saya.
Jadi saya harus memanggil beliau dengan sebutan mamak, bukan bapak. Saya pun
sadar, wajar saja jika mamak saya marah ketika saya panggil bapak.
Sebutan yang
keliru ini biasanya dianggap sepele dan tak perlu dihiraukan oleh orang Minangkabau masa kini.
Padahal, zaman dahulu kita bisa saja disebut orang yang tidak tahu adat karena
tidak bisa membedakan siapa yang harus dipanggil mamak dan siapa yang dipanggil
bapak. Jika salah memanggil, bisa-bisa ibu kita dianggap tidak bisa mengajari
anak, sehingga anak tidak tahu adat.
Secara umum, mamak adalah saudara laki-laki ibu.
Semua saudara laki-laki ibu baik adik maupun kakaknya disebut mamak. Tak hanya
itu, saudara laki-laki ibu dalam suku yang serumpun juga disebut mamak. Jika saudara laki-laki yang lebih tua dari ibu
kita dipanggil “Mak Adang” atau Mamak nan Gadang, sedangkan yang lebih
muda dipanggil “Mak Etek” atau Mamak nan Ketek. Kehadiran mamak di
dalam keluarga Minangkabau sangat dibutuhkan. Mamak sebagai orang yang dituakan
dan menjadi pemimpin bagi kemenakannya. Selain itu, mamak harus bisa mendidik
kemenakannya.
Kedudukan kamanakan sangat penting bagi seorang
mamak baik itu kamanakan perempuan ataupun laki-laki. Seorang kamanakan
laki-laki kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai mamak dalam suatu
keluarga. Kamanakan laki-laki merupakan kader kepemimpinan (calon mamak) dalam
keluarganya. Jika kamanakan laki-laki tidak ada, maka mamak akan merasa cemas
karena kelak tidak ada pengganti dirinya. Hubungan mamak dan kamanakan tidak
dapat dipisahkan. Hal ini sesuai dengan ungkapan adat “ kamanakan barajo ka mamak”. Artinya kemenakan menjadikan mamak
sebagai rajanya. Ia harus tunduk dan patuh terhadap mamak sebagai pemimpinnya.
Dengan hubungan keduanya, mamak dan kamanakan punya hak dan kewajiban
masing-masing. Mamak sebagai orang yang dituakan dan menjadi pemimpin bagi
kamanakannya tidak boleh berbuat sewenang-wenang. Mamak harus memiliki aturan
sebagai pemimpin. Kamanakan juga harus memiliki tanggung jawab terhadap
mamaknya. Ia harus tunduk dan patuh terhadap perintah mamaknya sehingga dengan
saling memenuhi tanggung jawab, maka akan terpelihara hubungan yang harmonis antar
mamak dan kamanakan.
Sekarang, semua itu dianggap sebagai sesuatu yang
telah berlalu. Semua kebesaran dan kebanggan tersebut telah menjadi dongeng
bagi masyarakat zaman sekarang, sebab generasi sekarang hanya menumpang pada
kebesaran masyarakat masa lalu sehingga mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka
telah kehilangan kebesarannya. Masyarakat Minangkabau telah berubah secara
total. Maka ketika orang berbicara tentang struktur sosial Minangkabau yang
diulas hanyalah cerita lama yang dikutip dari tradisi-tradisi yang telah hampir
dilupakan. Kini hubungan antara mamak dan kamanakan masih tetap bertahan, namun
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari lebih bersifat simbolik daripada
fungsional.
Kedudukan seorang mamak kini hanyalah sebagai
panggilan saja. Sedangkan perannya sebagai mamak tidak lagi terlihat dalam
keluarganya. Kewajiban dan tanggung jawabnya tidak lagi ditunaikan sehingga
hubungan antara mamak dan kamanakan tak harmonis lagi. Bahkan kamanakan tak
mengenal lagi siapa mamaknya dan begitu juga sebaliknya. Mamak dan kamanakan
sudah tak lagi saling mengenal. Ungkapan adat anak dipangku, kamanakan dibimbiang sudah tak dipakai lagi dalam
kehidupan sehari-hari. Kamanakan telah kehilangan sosok mamak sebagai tempat
bertanya, dan mamak kehilangan kamanakan yang kelak akan menggantikan posisinya
sebagai mamak.
Masyarakat Minangkabau telah mengalamai kegoncangan
budaya (cultural shock). Kegoncangan
ini telah membawa masyarakatnya untuk mencari jati dirinya masing-masing.
Kontrol sosial yang makin melemah terutama karena perangkat kelembagaan sosial
tradisional sudah mulai pudar. Gemerlapnya kehidupan metropolitan telah menjadi
kiblat bagi kegiatan politik, sosial, ekonomi dan menjadi acuan bagi kehidupan
masa kini. Siswa diberbagai jenjang pendidikan akan lebih bangga menggunakan
bahasa asing daripada menggunakan bahasa Minangkabau sehingga bahasa
Minangkabau menjadi bahasa yang mulai ditinggalkan masyarakatnya. Begitupun dengan
kata sapaan di Minangkabau. Kata “mamak” dan “etek” telah digantikan dengan
kata “oom” dan “tante”. Adat Minangkabau yang basandikan syara’ dan kitabullah
itu kini tinggal sebagai sebuat cerita indah yang disampaikan dalam pertemuan
resmi. Adat itu nyaris tak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari.
Jika saat ini saja peranan budaya Minangkabau telah
berangsur-angsur dilupakan, lalu apa yang akan terjadi dengan budaya kita
sepuluh tahun kedepan? Apakah masyarakat masih mengenal budaya warisan nenek moyang
kita? Semua itu tergantung kepada kita yang hidup dizaman sekarang. Apakah kita
rela satu persatu budaya kita mulai terlupakan? Tentu saja tidak. Untuk itu,
kita harus menggalakkan kembali kebudayaan kita yang nyaris terlupakan dan
terkubur seiring berjalannya waktu. Sebagai orang Minangkabau hendaknya kita
bangga dengan budaya kita bukan budaya asing. Jika kita merasa bangga dengan
adat dan budaya daerah kita, tentunya kita bisa mengembalikan kejayaan budaya
masa lampau. Ibarat kata pepatah adat Minangkabau mambangkik batang tarandam .
Pelestarian suatu tatanan kehidupan sosial di Minangkabau
sangat tergantung kepada bagaimana masyarakat itu meyakini bahwa nilai-nilai
yang terdapat dalam kebudayaannya tersebut bermutu tinggi dan sulit dicari
tandingannya pada masa kini dan masa yang akan datang. Kita
lihat saja bagaimana aturan adat mengenai hubungan antara seseorang pribadi
dengan keluarga dan masyarakat. Begitu pula dengan hubungan mamak dan
kamanakan, hubungan minantu dan mintuo, serta hubungan anak pisang dengan
bakonya. Falsafah adat yang mengajarkan kita untuk menjaga keharmonisan
pergaulan dalam masyarakat baik yang tua terhadap yang muda, yang muda terhadap
yang tua maupun sesama umur. Falsafah ini sangat relevan jika kita
implementasikan dalam kehidupan di zaman modern tanpa membeda-bedakan suku
bangsa. Hal ini tentunya akan membuat kita dapat diterima di lingkungan mana
saja, sementara kita tidak akan kehilangan jati diri sebagai orang Minang.
Untuk dapat terus melestarikan budaya Minangkabau, kita harus memulainya dari
sesuatu yang dianggap sepele seperti penggunaan panggilan dan membangun kembali
hubungan antara mamak dan kamanakan, karena dengan hubungan ini terkandung
suatu falsafah kehidupan yang bernilai tinggi dan juga bersendikan kepada syari’at
islam yang menganjurkan kita untuk saling menjaga silaturrahim, maka ini
menjadi hutang bagi kita untuk terus melestarikannya di dalam keluarga maupun
di korong kampuang kita di Minangkabau.