22 Desember, meskipun hari ini adalah hari Ibu, namun hari ini tak begitu spesial bagiku. Bukannya aku tak ikut memperingati hari ibu, tapi menurutku setiap hari adalah hari ibu. Memang tak ada yang dapat aku berikan sebagai kado hari Ibu kepada beliau, aku hanya bisa menceritakan betapa aku sangat mengagumi beliau. Seorang wanita yang tak lagi muda. Wajahnya yang dulu cantik, kini mulai berubah seiring dengan pertambahan usia. Wanita yang begitu tegar menjadi seorang single parent selama 17 tahun lebih. Mungkin beliau tak pernah membayangkan akan ditinggal pergi suaminya untuk selama-lamanya dan membesarkan ketiga buah hatinya seorang diri. Umurnya masih sangat muda ketika takdir mengharuskan beliau menjadi seorang janda. Semenjak beliau berusia 24 tahun, tanggung jawab sebagai kepala keluarga beralih kepundaknya. Aku bisa membayangkan, betapa sulitnya membesarkan aku, kakak, dan adikku. Namun, beliau tak pernah mengeluh. Beliau berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah karena uang pensiun papa tak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami.
Tak hanya mencari nafkah, semenjak 17 tahun yang lalu, beliaulah yang telah mendidik dan membesarkan kami, anak-anaknya. Dulu, aku sempat memberontak dengan cara mama mendidik kami. Sifatnya yang keras dan cenderung otoriter membuat aku sempat berfikir, "kenapa harus papa yang pergi? kenapa bukan mama?". Berbeda dengan mama, papa memang terkenal dengan sifanya yang lemah lembut. Mama sering memarahiku. Mama akan sangat marah ketika aku lupa melaksanakan sholat. Mama juga akan memarahiku ketika aku tidur lagi setelah shalat shubuh. Tak hanya itu, mama juga tak suka jika beliau pulang, dan rumah dalam keadaan berantakan.
Dibalik sifatnya yang keras, mama sesungguhnya memiliki hati yang sangat lembut. Beliau rela mengorbankan kebahagiaannya demi kebahagiaan kami. Buktinya, beliau rela selama 17 tahun membesarkan anak tanpa didampingi oleh seorang suami. Ya, semenjak papa meninggal, memang tak pernah terbersit dibenaknya untuk kembali menikah. Setiap kali orang bertanya, dengan santai beliau menjawab " Gadangan se lah anak-anak ko lai, indak usahlah mamikian nan ka dek awak!". Maksudnya, beliau rela mengorbankan kebahagiaannya demi membesarkan anak-anaknya, sungguh mulia hatimu, Ma!
Mama memang hebat. Mama memang wanita luar biasa. Aku menyesal sempat berfikir "seandainya tak ada mama!". Ya Allah, maafkan hambamu. Sebuah dosa besar telah aku lakukan. Apa aku pantas disebut anak durhaka? Ya Allah, aku nggak mau menjadi anak durhaka, ampuni kekhilafanku. Aku tak mau engkau mengambil mama dari sisiku. Aku masih sangat membutuhkan beliau. Aku belum sempat membahagiakan beliau. Bahkan, aku masih belum bisa menebus kekecewaan beliau atas kegagalanku. Aku tak bisa membayangkan hidup tanpa beliau. Tak ada lagi yang akan menyiapkan sarapan, tak ada lagi yang akan mengajak aku sholat ke masjid, tak ada lagi wanita yang akan meneteskan air mata untukku dalam setiap doanya. Sungguh aku tak bisa membayangkan semua itu. Ya Allah, berikan beliau kesehatan dan kemudahan dalam mencari nafkah, jauhkan beliau dari segala kesedihan. Aku sangat menyayangi beliau Ya Allah. Aku butuh do'a dan dukungan beliau. Aku tau, semua itu beliau lakukan semata-mata demi kebahagiaanku. Terima kasih ya allah, engkau telah memberikan seorang malaikat. Aku tak tau entah bagaimana caraku membalas semua pengorbanan beliau, yang aku tau, sampai kapanpun semua itu takkan pernah bisa aku balas.