Sabtu, 17 Desember 2011

Dirgahayu Kota Biru, Payakumbuh




Hari ini, 17 Desember 2011, kota Payakumbuah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kota Batiah genap berusia 41 tahun. Usia yang cukup muda sebagai salah satu kota di Sumatera Barat. Di kota ini, aku dilahirkan dan hampir seumur hidupku aku habiskan disini. Payakumbuh merupakan salah satu kota yang terletak di hamparan kaki gunung Sago, dilalui oleh 3 buah sungai yang bernama Batang Agam, Batang Lampasi dan Batang Sinama. Wilayah administratif kota ini dikelilingi oleh Kabupaten Lima Puluh Kota. Kota ini berada dalam jarak sekitar 30 km dari Kota Bukittinggi atau 120 km dari Kota Padang dan 188 km dari Kota Pekanbaru.
Sejarah Singkat Kota Payakumbuh
Kota Payakumbuh terutama pusat kotanya dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang dimulai sejak keterlibatan mereka dalam perang Padri, dan kemudian kawasan ini berkembang menjadi depot atau kawasan gudang penyimpanan dari hasil tanam kopi dan terus berkembang menjadi salah satu daerah administrasi distrik pemerintahan kolonial Hindia-Belanda waktu itu. Menurut tambo setempat, dari salah satu kawasan di dalam kota ini terdapat suatu nagari tertua yaitu nagari Aie Tabik.

Jembatan Ratapan Ibu
Bergaya ala patung ibu
Jembatan Ratapan Ibu
Patung ibu yang menunjuk ke arah sungai
Jembatan ini dibangun tahun 1818 dan memiliki panjang 40 meter yang melintas di atas Sungai Batang Agam dengan arsitektur kuno berupa susunan batu merah setengah lingkaran yang direkat dengan kapur dan semen tanpa menggunakan konstruksi dari besi. Di sisi timur jembatan, kini telah dibangun sebuah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dilengkapi dengan taman, gazebo dan jembatan refleksi. Meskipun berkunjung dimalam hari, anda tak perlu cemas, sebab penerangan di kawasan RTH ini telah memadai. Berikut beberapa foto saya di RTH Jembatan Ratapan Ibu. Mungkin sebagian ada yang belum tau mengapa jembatan tersebut diberi nama Jembatan Ratapan Ibu. Konon pada zaman penjajahan Hindia Belanda, di jembatan ini para pejuang ditembak mati oleh kompeni. Mereka berdiri berjejer dibibir jembatan, kemudian dengan brutal tentara Belanda menembaki mereka. Tubuh yang penuh luka itu jatuh dan dihanyutkan oleh derasnya air sungai. Kaum wanita, terutama ibu-ibu menangisi kematian anak mereka, hingga kini, Jembatan itu dikenal dengan nama Jembatan Ratapan Ibu.
Bersepeda di sisi kanan jembatan

tampak dibelakang saya gazebo di RTH









Kota Payakumbuh in My Opinion
Nagari yang terletak di luak nan bungsu ini memang memiliki kenangan yang sangat berarti bagi saya. Suasana kota yang nyaman dengan udaranya yang sejuk, penduduk yang ramah, serta kuliner yang menggugah selera tak mungkin dilupakan begitu saja. elamat ulang tahun kampuang tacinto, Pikumbuah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar